Beban Kultural Si Hama Kedamaian
Kultur sialan. Segala yang seharusnya sederhana tanpa paksaan kini menjadi beban pada pundak yang enggan bergerak jika ada tuntutan dipikulnya. Aku telah salah menanggapi jalannya hidup ini ketika berpikir semua akan sekontras warna putih dan hitam, karena nyatanya semua menjadi lebur disebabkan si kultur sialan. Acuan yang selalu kugunakan dalam memahat karakter tertentu rupanya bertabrakan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh kultur ini. Sekarang aku kelimpungan, mana yang harus kuikuti dan imani?
Tentu, jawabannya ada pada aturan saklek yang telah memikat rohani diri ini, namun dapatkah selalu kujadikan tolok ukur dalam menyikapi segala hal? Bisa, sih, jika aku memasang muka tebal dilapisi aspal dan beton sehingga tak punya perasaan dalam menanggapi desakan para pemuja kultur.
Penganut kultur?
Atau sekalian, penyembah kultur?
Entahlah, terjebak di dalamnya membuatku meragukan nilai-nilai yang kuimani. Bagaimana jika selama ini jalan pikirku yang salah? Pertanyaan — pertanyaan beracun mulai berakar dan mengikis rasa kedamaian dalam diri.
Ke mana perginya kepasrahan yang absolut itu?
Lenyap bagaikan ladang tandus yang kadung rusak dihinggapi hama. Diacak hama, dikalahkan hama. Akankah nilai yang kupegang bernasib serupa?
Aku percaya bahwa alur kehidupan selalu mudah, dan memang seharusnya mudah. Namun aku tidak percaya akan rundungan beban kultur yang siap melahapku kapan pun diriku lengah.